Setelah tayang di Netflix, akhir-akhir ini banyak orang yang merekomendasikan film ‘Nokta Merah Perkawinan’, sebuah karya yang merupakan adaptasi dari sinetron era ’90-an. Tetapi kisah yang diangkat pada film ‘Nokta Merah Perkawinan’ ini terasa lebih baru dan indah.
Konflik yang ada di dalam film ini memang tidak jauh berbeda dari apa yang bisa kita lihat di sinetronnya, tetapi permasalahan yang ada di dalam film ini terasa lebih realistis dan relevan dengan kehidupan yang ada saat ini.
Pemeran yang ada di ‘Nokta Merah Perkawinan’ berhasil memerankan peran mereka dengan sangat baik, mereka ada Marsha Timothy sebagai Ambar, Oka Antara sebagai Gilang, dan Yuli yang diperankan oleh Sheila Dara.
Dari awal film kita sudah melihat adanya masalah antara sepasang suami istri ini. Masalah datang dari Ambar yang merasa kalau Oka terlalu memanjakan ibunya untuk selalu memberikan tunjangan finansial kepada kakak Ambar. Masalah lain datang dari ibu Oka yang mengetahui hal tersebut dan menganggap keluarga Ambar sebagai benalu. Masalah tersebut sangat mempengaruhi rumah tangga mereka.
Di dalam film ini, dihadirkan juga orang ketiga yang muncul dengan cara berbeda. Jika biasanya ‘pelakor’ akan membuat kita benci dengan karakter tersebut, tapi di dalam film ini Yuli merupakan sosok pelakor yang bisa dimaklumi kehadirannya.
Yuli digambarkan sebagai tempat singgah untuk Oka yang tengah memilih masalah di rumah tangganya. pandangan humanis tentang orang ketiga, ketika rasa cinta yang alami terhadap manusia justru tumbuh dalam diri seseorang yang telah membuat janji suci dengan orang lain.
Apakah Yuli, sebagai orang di luar pernikahan Ambar dan Gilang, tidak boleh mencintai lelaki itu hanya karena ‘datang belakangan’ dari Ambar? Lantas, salahkah Yuli saat bisa memberikan apa yang Gilang rasa kurang dari Ambar?
Segala pertanyaan itu lah yang membuat Yuli tidak di cap sebagai pelakor yang kerap kali mendapat hujatan dari masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, Yuli seakan membuka mata mereka dalam melihat kalau di dalam perselingkuhan, orang ketiga tidak selalu menjadi pihak yang salah.
Puncak dari film ini adalah saat Ambad dan Gilang bertengkar di dapur, di mana pertengkaran itu menjadi terasa semakin sengit saat emosi keduanya beradu. padahal pada akhirnya, pasangan yang bertengkar pun tidak selalu berarti saling membenci. Bisa jadi, semua pertengkaran dan perpisahan hanyalah satu bahasa untuk mengatakan”saya masih dan akan selalu mencintaimu”.
Jika dilihat secara keseluruhan, film ini mungkin cocok untuk disaksikan bagi pasangan muda yang mau melihat bagaimana sudut pandang dalam menyelesaikan masalah, bahkan untuk pasangan yang sudah bertahun-tahun berpasangan. Ini tentu menjadi film segar dalam perfilman tanah air.